Rabu, 27 Juni 2012

Mengapa UN Masih Dilaksanakan?

Pro dan kontra seputar pelaksanaan ujian nasional seakan tak pernah berhenti. Setiap tahunnya, pelaksanaan ujian penentu kelulusan siswa itu selalu menuai kritik. Akan tetapi, tetap berjalan dengan format yang sama. Desakan agar pelaksanaan ujian nasional (UN) dievaluasi pun terus didengungkan oleh pengamat pendidikan maupun anggota DPR, khususnya komisi yang membidangi pendidikan, Komisi X.
Anggota Komisi X DPR, Dedi Gumelar alias Mi'ing mengatakan, pelaksanaan UN menyalahi aturan. Khususnya, UN yang ditetapkan kepada siswa di jenjang SD. Menurutnya, UN untuk siswa SD tidak sejalan dengan misi pemerintah menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun.
"UN SD menyalahi aturan. Kalau ada siswa yang tidak lulus maka tak bisa lanjut ke SMP. Ini masalah, karena berbenturan dengan semangat wajib belajar sembilan tahun," kata Mi'ing, dalam audiensi yang digelar DPR bersama Gerakan Indonesia Menggugat, Rabu (27/6/2012), di Gedung DPR, Jakarta.
Alasan tersebut diperkuat oleh Anggota Komisi X DPR lainnya, Rohmani. Nenurut Rohmani, filosofi UN sebagai alat untuk pemetaan dan meningkatkan mutu pendidikan tak akan berjalan efektif. Pasalnya, pemetaan selamanya tak akan berjalan maksimal jika dilaksanakan setiap tahun dan menggunakan sample 100 persen peserta didik.
"Pemetaan dan peningkatan mutu UN itu berbeda, malah tidak tercapai kedua-duanya karena masih terjadi kecurangan. Saya pikir juga tidak perlu setiap tahun, karena boros dan pemetaan tak akan efektif," ucapnya.
Rohmani mengungkapkan, mayoritas anggota di komisinya menolak pelaksanaan UN. Akan tetapi, pihak yang menolak selalu kalah suara dengan pihak yang mendukung.
"Saya pikir semuanya menolak, tapi kita selalu kalah saat putusan ditentukan melalui polling," ungkapnya.

Di saat bersamaan, Ketua Gerakan Indonesia Menggugat (GIM), Iwan Pranoto banyak memaparkan kritiknya mengenai UN di hadapan Komisi X. Baginya, pelaksanaan UN berjalan tidak adil dan hanya mendorong peserta didik pada metoda pembelajaran yang kuno serta membangun budaya belajar dengan penuh keterpaksaan.
"Tidak adil untuk anak-anak yang di pelosok. Jika mereka tidak lulus, apa kita mau menyalahkan mereka? Bagaimana dengan semangat belajarnya, semua dilakukan karena terpaksa," ujar Iwan.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites